Daftar Isi
Rohingya: Etnis Tanpa Tanah dan Harapan Masa Depan – Rohingya, kelompok etnis yang disebut sebagai salah satu minoritas paling teraniaya di dunia, menghadapi tantangan besar di Myanmar. Dalam serangkaian kekejaman pada awal tahun 2017, mereka menjadi korban kebrutalan yang meninggalkan bekas tubuh dan jiwanya.
Meskipun jumlah mereka mencapai 1 juta jiwa di Myanmar, etnis Rohingya tidak memiliki kewarganegaraan dan dihadapkan pada berbagai pembatasan.
Kewargaan dan Pembatasan
NB : Postingan ini sudah di update menjadi postingan video. Anda bisa “BERALIH KE VERSI VIDEO” atau tetap di sini untuk melanjutkan membaca
Pada tahun 1982, undang-undang kewarganegaraan yang ketat tidak mengakui etnis Rohingya sebagai salah satu dari 135 kelompok etnis nasional yang diakui.
Mereka tidak dapat mengakses layanan sosial, pendidikan, atau bahkan pergerakan di luar negara bagian Rahine. Peraturan ketat terkait pengendalian kelahiran dan pernikahan membatasi hak-hak dasar mereka.
Kontroversi Terkait Identitas Rohingya
Pertentangan terkait identitas etnis Rohingya menjadi sorotan. Sementara pemimpin politik Rohingya menyatakan keberadaan mereka sebagai kelompok etnis dengan budaya dan bahasa yang berbeda, penduduk Budhis di Myanmar menolak untuk menyebut mereka sebagai Rohingya, lebih suka menyebut mereka sebagai Bengali. Pemerintah Myanmar bahkan menganggap mereka sebagai imigran ilegal.
Sejarah Panjang Rakine
Sejarah panjang Rakine, wilayah tempat Rohingya berkumpul, menjadi akar perbedaan. Klaim sejarah tradisional Burma menyebutkan bahwa suku Rakine telah mendiami Arakan sejak 3.000 tahun sebelum masehi.
Namun, tidak ada bukti arkeologis yang mendukung klaim tersebut. Perbedaan sejarah ini memberikan kontribusi pada ketegangan antara etnis Rohingya dan Myanmar.
Pengaruh Kolonialisme Inggris
Selama pemerintahan Inggris, yang berlangsung hingga tahun 1948, Burma menjadi bagian dari India Britania. Kedatangan orang Bengali sebagai pekerja migran meningkatkan ketegangan, tetapi Rohingya tetap mempertahankan identitas dan kawasannya.
Saat Burma meraih kemerdekaan, rohingya yang pro-Inggris dianggap sebagai penghianat oleh orang Burma, memicu kekerasan antarkelompok.
Perlakuan Nista dan Pengungsian
Tahun 2017 mencatat perlakuan nista terhadap Rohingya, mendorong ratusan ribu pengungsi melarikan diri ke Bangladesh.
Pemukiman pengungsi terbesar di dunia, Kutupalong, kini menjadi rumah bagi lebih dari 600.000 pengungsi. Namun, pada Maret 2019, Bangladesh mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi menerima pengungsi Rohingya dari Myanmar.
Harapan Masa Depan
Etnis Rohingya masih berjuang mencari pengakuan dan hak-hak dasar. Dengan menyoroti kisah mereka, kita dapat membangun kesadaran global tentang perjuangan yang mereka hadapi.
Mari bersama-sama mendukung hak asasi manusia dan mengikuti berita terbaru di PosJos.com untuk terus memperjuangkan keadilan.